Oleh : Zeynal Arifin, Lc, M.E.I*
Ketika Nabi Musa alaihissalam datang kepada Firaun; menyerukan kebenaran dan menuntut pembebasan Bani Israil, ada dua hal yang dilakukan Firaun untuk membungkam Nabi Musa. Pertama, menyebutkan jasa-jasa yang pernah dilakukan Firaun kepada Nabi Musa. Kedua, mengangkat kasus yang pernah dilakukan Nabi Musa. Firaun berharap, dengan dua hal ini Nabi Musa akan bungkam dan tidak lagi menyuarakan kebenaran.
Hal ini disebutkan Allah di dalam surah Asy-Syu’ara ayat 18 dan 19:
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ (18) وَفَعَلْتَ فَعْلَتَكَ الَّتِي فَعَلْتَ وَأَنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ (19)
“Dia (Fir‘aun) menjawab, “Bukankah kami telah mengasuhmu dalam lingkungan (keluarga) kami, waktu engkau masih kanak-kanak dan engkau tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan engkau (Musa) telah melakukan (kesalahan dari) perbuatan yang telah engkau lakukan dan engkau termasuk orang yang tidak tahu berterima kasih.”
Jurus inilah yang sering dipraktekkan para pembungkam kebenaran di sepanjang masa. Sebab, secara psikologis, manusia akan terikat dengan kebaikan seseorang. Sehingga, ia merasa tidak enak untuk menegur, mengungkap, menangkap atau menghukum orang-orang yang telah banyak berjasa kepadanya. Di sisi lain, orang yang pernah melakukan kesalahan biasanya tersandera kesalahannya. Dia takut kesalahannya diungkap dan dipersoalkan. Sebab itu, banyak diantara penyeru kebenaran yang kemudian bungkam ketika kasusnya mulai dipersoalkan.
Adakah yang demikian di negri kita?
Wallahu A’lam.
*Penulis adalah pengajar MAQ Al Ihsan, dan merupakan sekretaris Yayasan Al-Ihsan Kebagusan